L for Love
Saat itu menjelang sore, ketika Davin mengendarai mobilnya memasuki
halaman sebuah rumah yang tidak luas. Mobilnya masih bisa masuk dan
berhenti tepat di depan pintu garasi yang tertutup. Dia mematikan mesin,
mobil bergetar beberapa detik sebelum akhirnya bergeming. Dia mengawasi
pemandangan taman kecil di depan rumah bergaya kuno itu, sebelum
memutuskan untuk keluar dari mobil. Banyak sekali bunga disana, berbeda
dengan halaman rumahnya yang hanya ditumbuhi pohon palem.
Kedua
tangan Davin menggenggam kemudi erat-erat, ketika perhatiannya teralih
pada pintu kaca yang tertutup rapat. Sejujurnyadia belum siap untuk ini.
Didalam rumah yang pintunya sedang ia pandangi, ada seseorang yang
telah ia hindari selama beberapa tahun, sejak disemester kedua masa
kuliahnya. Orang yang pernah sangat setia menunggunya, orang yang pernah
sangat berarti dihidupnya, seseorang yang menjadi alasan kegigihannya
dalam mencari beasiswa demi mengejar gelar sarjana di salah satu
universitas Perancis.
“Suatu hari nanti, aku akan pulang membawa kesuksesan. Dan orang tuamu nggak akan punya alasan lagi buat nentang hubungan kita.”
Davin
tak bisa lupa dengan janji yang telah ia ucapkan pada gadis itu,
bagaimana dia bisa lupa pada sebuah janji yang akhirnya mengantarkannya
pada Perancis. Dia hanya tidak bisa menepatinya, jadi dia berkali-kali
mencoba untuk pura-pura lupa. Dia bhkan masih sangat ingat suara
terakhir gadis itu ketika menghubunginya via telepon.
“Kita membangun
semua dari nol, dari orang tuaku yang sama sekali nggak suka sama kamu,
sampai mereka mulai bisa menerima kamu, tapi kenapa kamu begini?” Davin
tidak bisa melihat seperti apa keadaan si pemilik suara saat mengucap
kalimat itu, tapi suara parau dan isakan itu cukup mewakili.
“Maaf
Santiana, aku udah nggak bisa.” Ucapnya dengan sangat tegas. “Terus
terang aja sikap kamu yang semakin lama semakin over protective itu
berpengaruh pada IP-ku—“
“Dan bikin kamu akhirnya jatuh cinta
sama cewek itu?!” Santiana menyela, suaranya meninggi. Davin membeku
dengan hendel telepon menempel ditelinganya. Gadis itu—Sisil—sangat
mandiri dan rendah hati. Sama-sama dari Indonesia, teman satu kelasnya
di universitas. Sisil adalah gambaran seorang Santiana yang pertama kali
Davin kenal.
“Kamu nggak nunjukin tanda-tanda berusaha berubah, San.” Kata Davin pelan.
“Aku kan udah minta kesempatan sama kamu, Vin…” Tangis Santiana pecah. “Tolong Vin, kasih aku satu kesempatan lagi…”
“aku udh nggak bisa, San”
“Aku selalu ngasih kesempatan buat kamu kalau kamu bikin kesalahan Vin, kenapa kamu begini sama aku?” Santiana merajuk.
“Kalau kamu emang pantas buat dikasih kesempatan, seharusnya kamu lebih
cepat berubah San, seharusnya kamu tunjukin kalau kamu pantas buat
aku—“
“Oh!” suara Santiana melengking. “Jadi aku nggak pantes
buat kamu? Kamu calon sarjana dari Perancis dan aku Cuma mahasiswi biasa
di Indonesia, gitu?”
Davin bergeming, menyesali kata-kata yang
muncul begitu saja dari mulutnya dan membuat Santiana kalap. Tapi
bayangan Sisil melintas begitu saja saat itu, memberi Davin kekuatan
lebih.
“Tega banget kamu, Vin… aku nggak nyangka kamu bisa begini sama aku, aku nggak nyangka kamu tega—“
“Berhenti meratap Santiana!” sela Davin, “Itu membuat diri kamu semakin rendah di mataku.”
Nada sms berbunyi tiba-tiba.
Davin
kembali pada dirinya yang berada didalam mobil, kendaraan yang
dipercayakan padanya atas jabatan yang ia peroleh. Dia mengambil HP
dalam saku kemejanya, ternyata sms dari Sisil yang menyuruh cepat pulang
untuk makan malam bersama dirumah baru mereka. Rumah yang diberikan
oleh orang tua Sisil sebagai hadiah pernikahan. Pikiran itu membuat
Davin secara spontan melirik cincin pernikahan yang melingkar dijari
manisnya.
Davin tidak membalas pesan itu, karena pikirannya tengah
sulit untuk menberi balasan yang tepat. Saat dia berpaling ke teras
rumah itu, lampu teras baru menyala tanda ada penghuni didalam sana.
Santiana pasti menunggunya didalam. Ini adalah tanggal 25 Mei, Davin
memastikan itu benar. Dia juga yakin surat yang terselip didalam kado
pernikahan dan datang dalam bentuk paket itu benar-benar dari Santiana.
Surat yang memintanya untuk datang….
Selamat atas pernikahanmu, semoga kamu bahagia.
Aku
dan orang tuaku sangat senang kalau kamu bersedia datang kerumah. Kami
mengundangmu dinner tanggal 25 Mei nanti, kamu bisa ajak istrimu kalau
kamu mau. Maaf kami tidak bisa menghadiri pernikahanmu, harap dimaklumi
karena kami sekeluarga sedang berada di luar kota.
Santiana
Begitu
isi surat dari Santiana. Davin berpikir akan mengajak Sisil datang
kesini juga, tapi dia tidak ingin Sisil tahu, bahwa Santiana adalah
seseorang yang pernah ia campakkan. Maka dia datang kesini tanpa
sepengetahuan Sisil.
Pintu mobil terbuka, Davin memutuskan untuk
keluar akhirnya. Dia berjalan ke arah teras, pintu kaca yang dibaliknya
tertutup gorden putih transparan itu tampak masih sama seperti dulu.
Davin memencet bel di sisi pintu. Seorang perempuan berbaju terusan
selutut, berwarna putih motif bunga-bunga merah kecil muncul dan membuka
pintu.
“Hai Vin…? Apa kabar…?” Sambut perempuan berambut panjang
yang dia kenal sebagai Santiana. Davin tersenyum, lebih tepatnya
berusaha untuk tersenyum dan menjabat tangan Santiana yang terulur.
“Akhirnya kamu memutuskan untuk masuk?” kata Santiana, Davin merasa
tidak nyaman secara mendadak, rupanya dari tadi Santiana tahu dirinya
tengah menimbang-nimbang didalam mobil.
“Mana istrimu?” dia menjulurkan kepalanya keluar dan melihat melewati bahu Davin.
“Aku
sendirian,” jawab Davin. Santiana kembali menatap Davin, “Sayang
sekali…” ujarnya dengan ekspresi kecewa yang dibuat-buat. Davin mengerti
bahwa Santiana sebenarnya sudah bisa menebak kalau ia tidak akan
membawa istrinya turut serta. Ia tahu Santiana seperti apa, dan juga
sebaliknya.
“Ayo masuk,” Santiana berbalik, Davin mengikutinya masuk,
mereka melintasi ruang tamu dan berbelok ke ruang keluarga. Davin
memperhatikan langkah-langkah kaki Santiana yang jenjang, Santiana
menoleh ke belakang sebentar dan tersenyum sekilas pada Davin. Ia lebih
cantik dari yang terakhir kali Davin temui, Davin jadi merasa sedikit
bersalah karena diam-diam kagum dengan kecantikan mantan kekasihnya.
“Silahkan,”
Santiana mempersilahkan Davin duduk di kursi makan. Davin melihat
begitu banyak makanan diatas meja. Tapi dia tidak melihat seorangpun
kecuali Santiana di ruangan itu, piring makan yang menelungkup diatas
meja juga hanya dua buah. Meskipun begitu bertanya-tanya, Davin menarik
salah satu kursi juga untuk duduk. Santiana kemudian duduk di seberang
meja.
Santiana tersenyum ketika Davin tampak sangat bingung. “Kamu
pasti heran kenapa orang tuaku nggak ada.” Santiana menerka dengan
tepat. “Mereka ada urusan di Bandung hari ini, karena nggak pasti kamu
akan datang, jadi mereka berangkat tadi siang.”
“Gimana kabar mereka?” tanya Davin, berbasa-basi.
“Sangat baik.” Santiana menjawab dengan sangat cepat.
“Kalau gitu, aku titip salam buat mereka,” kata Davin, rikuh.
“Terimakasih,
mereka pasti sangat senang. Mereka juga mau ngucapin selamat atas
pernikahanmu dengan Sisil.” Santiana mengubah nada bicaranya menjadi
lebih ceria, seperti berusaha untuk mencairkan suasana, tapi Davin
merasa suasana tetap beku.
“Thanks,” ucap Davin. “Ng…., gimana kabar kamu sendiri?”
“Seperti
yang kamu lihat.” Santiana berseri-seri. “Ayo kita mulai makan!”
Santiana membalik piringnya, Davin juga. Mendadak Davin ingat istrinya
yang menyiapkan makan malam di rumah.
“Kamu kepikiran istrimu?” tegur
Santiana, Davin agak terkejut. Santiana seperti membaca pikirannya.
Perempuan di hadapannya itu menyendokkan nasi ke piring Davin,
takarannya pas. “Aku Cuma mengundangmu ke rumah hari ini aja Davin,
besok dan seterusnya nggak lagi.” Kali ini dia meletakkan sepotong ayam
bakar kesukaan Davin ke piring Davin.
Davin sedikit lega, benar juga. Setelah makan dia akan pamit pulang dan menemui istrinya yang telah menanti dirumah.
“Silahkan,”
ujar Santiana, memberi isyarat agar Davin mengambil lauk yang lain.
Setelah itu dia menyendok nasi untuk piringnya sendiri.
Davin mulai
memakan nasinya, Santiana mengawasi dari kursinya dengan senyuman terus
mengembang dibibirnya. “Enak, Vin?” Tegur Santiana.
Davin mengangguk.
“Itu aku sendiri yang masak.” Ujar Santiana.
Davin kembali menyendokkan nasi ke mulutnya, agak buru-buru. Santiana
menuangkan segelas air jeruk ke gelas Davin yang masih kosong, lalu
menuangkan juga ke gelasnya sendiri.
“Kamu ingat nggak Vin,”
Santiana meletakkan teko kembali ketempatnya. “Hari ini adalah hari
dimana kita pertama kali pacaran—“
Davin tersedak, dia mengangkat
gelasnya dan meneguk isinya perlahan, tanpa sengaja dari sudut matanya
dia menangkap kilatan aneh dimata Santiana.
Nada sms tiba-tiba berbunyi.
Davin
tersentak, dia melihat sekeliling, ternyata dia masih didalam mobil.
Bagaimana dia bisa tertidur didalam mobilnya. Davin mengambil HP dari
saku kemeja, ada sms dari istrinya. Isinya menyuruh Davin untuk cepat
pulang, karena istrinya telah menyiapkan makan malam untuknya.
Davin
berpaling kearah rumah itu, hawa dingin aneh yang tidak berhubungan
dengan AC mobilnya tiba-tiba menjalari tubuhnya. Davin menghidupkan
mesin mobilnya dan memutuskan untuk pulang. Dia pikir sebaiknya tidak
menemui Santiana, sebaiknya dia pulang dan menjelaskan pada Sisil siapa
itu Santiana. Sisil berhak tahu, dan dia tentu bisa mengerti.
Dia
akhirnya mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Santiana menuju
ke arah jalan pulang. Sisil pasti sedang menantinya di ruang makan yang
sangat nyaman. Beberapa menit kemudian mobil Davin sampai di depan
rumah barunya. Davin buru-buru keluar dari mobil dan bergegas menuju
pintu kayu yang tertutup rapat.
Davin mengetuk pintu sambil berkata,
“Yang… aku pulang, nih…” dan tak lama terdengar langkah-langkah dari
dalam sana, Davin menghembuskan nafas lega.
Pintu terbuka, Davin
mengangkat wajahnya untuk melihat senyum sambutan istrinya. Tapi matanya
membulat ketika melihat siapa yang ada dibalik pintu…
“Santiana?”
“Hai,
Vin…?” Santiana dengan baju putih motif bunga-bunga merah tersenyum
senang melihat Davin. Sementara Davin terheran-heran karena pintu di
rumahnya bukan lagi pintu kayu, melainkan kaca. Davin menoleh ke
belakang, taman kecil itu, dia masih berada dirumah Santiana sepertinya.
Tentu ini rumah Santiana, karena yang membuka pintu adalah Santiana.
Bagaimana bisa dia berhayal bahwa ini adalah rumahnya, mungkin ada yang
salah.
Davin meraba keningnya, sepertinya dia mulai sedikit mengalami
gangguan ingatan. Ini seperti de javu yang berlebihan. Dia kembali
berpaling pada Santiana, dan Santiana masih tersenyum padanya. Tapi
tiba-tiba Santiana mengangkat pisau dapur ditangan kanan dan secepat
kilat menghunuskannya ke dada Davin sebelum dia sempat menghindar.
“Arrgh!”
Davin
memekik tertahan. Dia membuka mata, nafasnya memburu, tangannya
mencengkeram kemudi mobil. Dia berada dalam mobil, dia MASIH berada
didalam mobil. Davin mulai merasa ada yang salah dengan rentetan
mimpinya.
Langit diluar sana sudah gelap. Nada sms tiba-tiba
berbunyi—dari HP yang ada didalam sakunya. Davin menebak sms itu dari
istrinya yang meminta untuk cepat pulang. Dia mengambil HP dari saku
kemeja dan menemukan tebakannya yang tidak meleset.
Ia kemudian
keluar dari mobil dalam keadaan berkeringat, ketika melihat ke arah
pintu rumah Santiana, dia dapat melihat dengan jelas ruang didalam sana,
karena pintunya dibiarkan terbuka. Davin lalu berjalan memasuki rumah
dengan langkah pelan.
Dia melintasi ruang tamu, berbelok ke ruang
keluarga. Disitu ada sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Yaitu
sebuah bingkai yang didalamnya terdapat foto orang tua Santiana,
menempel di dinding tepat diatas sofa merah marun. Disisi bingkai itu
terdapat foto lain, foto adik laki-laki Santiana yang meninggal ketika
usianya masih lima tahun. Yang membuat Davin terkejut adalah tulisan
besar-besar yang seperti terbuat dari bahan triplek diatas kedua bingkai
tersebut, IN MEMORIAM.
PRAANG!!!
Suara pecahan benda mengalihkan
perhatian Davin, dia berjalan kearah ruang makan. Dari luar pintu ruang
makan dia melihat banyak makanan diatas meja. Davin melangkah masuk
lebih jauh, dan dia melihat Santiana berdiri di sisi meja makan.
Wajahnya menunduk entah melihat apa, karena pandangan Davin terhalang
oleh meja makan jadi ia tidak bisa melihat apa yang Santiana perhatikan.
“San—“
Suara Davin tertahan ketika dia melangkah lebih dekat, dan melihat
pecahan gelas dilantai. Bukan pecahan gelas itu tepatnya yang lantas
membuat suaranya tersekat, tapi sebuah tangan dengan cincin dijari
manisnya yang merebah diantara serpihan gelas tersebut.
Davin
melangkah dengan gerakan yang sangat pelan. Dia mengikuti arah pandang
Santiana yang bergeming. Davin tergeragap ketika melihat tubuh laki-laki
yang tergolek tepat di sisi kaki Santiana, kedua mata laki-laki itu
terbuka, buih memenuhi mulutnya yang bergeming.
“Sekarang,” Santiana
bersuara tiba-tiba, dingin dan dalam. “Kamu nggak pantes buat perempuan
manapun, Davin.” Santiana tertawa pelan diakhir kalimatnya. Davin
berusaha untuk berteriak, namun yang keluar dari mulutnya hanya udara
dingin.
About Me
- Flaviana Febriani
- I'm teenager which make some stupid mistakes & trying to find a place in this world!. Ordinary person with an extraordinary life (:. I admire myself because I'm so proud to be me♥. Follow me: @flaviana27_
0 komentar:
Posting Komentar